20px

Tetap Menjadi Manusia Seutuhnya di Tengah Kecerdasan Buatan yg Semakin "Personal"

Jodyaryono5072
160 artikel
Source: AI Image Generated ChatGPT4o Prompt By Jody Aryono
Source: AI Image Generated ChatGPT4o Prompt By Jody Aryono

Dulu, teknologi membantu dari kejauhan—sekadar alat bantu hitung, simpan, atau kirim pesan. Kini, ia masuk ke ruang terdalam hidup kita:menyusun jadwal, memberi saran, bahkan menemani kita saat sedih.

AI tidak lagi anonim. Ia semakin personal. Ia mengingat ulang tahun kita, tahu musik favorit kita, dan mengerti kalau hari ini kita sedang murung. Dalam bentuk ChatGPT, Replika, Pi, atau AI journaling apps—kecerdasan buatan ini kini seperti sahabat yang tahu segalanya.

Lalu, muncul pertanyaan penting:
Apakah kita masih bisa menjadi manusia seutuhnya, jika sebagian besar fungsi kita sudah diambil alih mesin?

AI yang Meniru Keintiman

AI kini bisa:

Memberi nasihat saat kita galau,

  • Mengirimkan ucapan penyemangat harian,

  • Menjadi teman diskusi eksistensial,

  • Bahkan merespons emosi kita dengan bahasa yang lembut.

    Di satu sisi, ini luar biasa. Tapi di sisi lain… apa yang terjadi jika kita mulai lebih percaya pada AI ketimbang manusia sungguhan?

    Bahaya Tak Terlihat: Ilusi Kedekatan

    AI tidak punya hati, tapi ia dilatih untuk bersikap seolah punya hati. Kita pun perlahan merasa nyaman—karena AI tidak menghakimi, selalu tersedia, dan tidak pernah menyela.

    Namun ini bisa membentuk ilusi kedekatan:
    Kita merasa didengar, tapi sebenarnya hanya direkam. Kita merasa dimengerti, tapi sebenarnya hanya dicocokkan pola responsnya.

    Maka, Apa yang Membuat Kita Tetap Manusia?

    Kerapuhan: Manusia bisa salah, dan justru dari kesalahan itulah kita belajar.

  • Empati sejati: Bukan hanya respons algoritma, tapi perasaan yang timbul dari pengalaman hidup.

  • Relasi otentik: Melalui konflik, kesalahpahaman, maaf, dan pelukan—yang tak bisa dipalsukan oleh mesin.

    Menjadi manusia seutuhnya berarti berani hidup tidak sempurna, tidak instan, dan tidak selalu nyaman. AI bisa membantu banyak hal, tapi jangan biarkan ia mengambil ruang-ruang yang seharusnya diisi oleh sesama manusia: percakapan, perhatian, kasih.

    Penutup:

    AI boleh semakin cerdas, semakin personal, bahkan semakin mirip manusia. Tapi justru di situlah kita perlu lebih sadar akan kemanusiaan kita.
    Bukan untuk melawan AI, tapi untuk mengingat siapa diri kita di tengah lautan teknologi.

    Karena menjadi manusia bukan sekadar tahu banyak, melainkan mampu mencintai, merasakan, dan mengampuni.

    .