Drama Digital: Ketika Pemerintah Membantah Setelah Publik Marah
Beberapa hari terakhir, publik dihebohkan oleh kabar bahwa pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), berencana membatasi layanan Voice over IP (VoIP) seperti panggilan WhatsApp, Telegram, dan Zoom. Reaksi keras netizen pun langsung membanjiri media sosial. Namun hari ini, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) mengklarifikasi: tidak ada rencana pembatasan layanan VoIP.
Pernyataan ini datang tak lama setelah muncul dokumen-dokumen resmi yang menunjukkan adanya wacana kebijakan tersebut. Jadi, publik pun bertanya-tanya: apakah ini sekadar klarifikasi, atau sebenarnya strategi test the water?
Mengapa Bisa Muncul Kabar Pembatasan VoIP?
Isu bermula dari rencana revisi Peraturan Menteri Kominfo tentang Penyelenggaraan Layanan Telekomunikasi. Salah satu poinnya menyebutkan aturan teknis untuk layanan OTT (Over The Top) — yaitu layanan digital yang beroperasi di atas jaringan operator, seperti WhatsApp dan Telegram.
Banyak pihak langsung menilai bahwa ini bisa membuka celah untuk melarang atau membatasi panggilan suara via internet, dengan alasan "keamanan data", "pajak", atau bahkan "keseimbangan industri".
Kronologi yang Terlalu Rapi untuk Sekadar Salah Paham
Yang membuat publik geram adalah pola yang mulai terasa familiar:
Ada bocoran kebijakan kontroversial.
Media ramai memberitakan, publik bereaksi keras.
Pemerintah buru-buru klarifikasi dan menyalahkan publik karena "salah tangkap".
Bagi sebagian masyarakat digital, pola ini seperti skenario test the water: uji respons publik terlebih dahulu. Kalau marah, dibantah. Kalau diam, dilanjut dan disahkan diam-diam.
Masalahnya Bukan Cuma Soal WhatsApp
Penting dipahami, ini bukan cuma soal VoIP. Ini soal prinsip keterbukaan dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan digital. Mengatur internet tidak bisa dilakukan dengan pola lama: diam-diam, tertutup, dan tanpa diskusi publik.
Apalagi yang diatur adalah ruang privat dan vital: komunikasi antaranggota keluarga, diskusi kerja jarak jauh, hingga konsultasi medis online.
OTT Bukan Musuh, Tapi Bagian dari Ekosistem Digital
Jika pemerintah berniat mengatur OTT, seharusnya dilakukan dalam semangat kolaboratif, bukan represif. OTT adalah bagian dari transformasi digital, bukan pengganggu.
Negara-negara lain justru menjalin kerjasama dengan penyedia OTT, mendorong pertumbuhan startup lokal, bukan membendung akses publik.
Fakta Lapangan: Apa yang Terjadi Jika VoIP Dibatasi?
Ribuan UMKM yang berjualan lewat WhatsApp akan terganggu.
Layanan customer service berbagai startup akan lumpuh.
Warga Indonesia di luar negeri tak bisa menelepon keluarga tanpa biaya mahal.
Komunikasi jarak jauh selama darurat (bencana, pandemi, dll) jadi lebih sulit.
Inilah yang membuat isu ini begitu sensitif.
Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Terus pantau proses revisi regulasi dan dorong transparansi publik.
Tuntut keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas digital dalam proses kebijakan.
Edukasi publik agar tidak mudah terlena dengan klarifikasi sepihak.
Sebagaimana demokrasi digital menuntut partisipasi, kita tidak bisa hanya jadi penonton — apalagi ketika ruang digital kita dipertaruhkan.
Penutup: Jangan Uji Rakyat dengan Ketidakjelasan
Pemerintah seharusnya tahu, rakyat kita bukan lagi pengguna pasif. Kita sudah cakap digital, paham literasi, dan mampu membaca gelagat. Klarifikasi saja tidak cukup, jika pola komunikasi masih elitis dan tertutup.
Kita tidak anti regulasi. Kita hanya ingin keterbukaan dan keadilan.
Referensi:
(CNBC Indonesia: Menkominfo membantah ada rencana pembatasan VoIP)
(Tirto: Penjelasan tentang regulasi OTT dan respons pemerintah)
.