20px

Pendekatan "Corporate Culture", Menata Ulang Lingkungan Kerja Hybrid

Ilustrasi perkantoran di masa pandemi | pexels/ Tima Miroshnichenko
Ilustrasi perkantoran di masa pandemi | pexels/ Tima Miroshnichenko
Photo Ilustrasi by Merza Gamal
Photo Ilustrasi by Merza Gamal

Akibat pandemi Covid-19, telah terjadi perubahan tempat kerja full time di kantor menjadi lingkungan kerja hybrid yang memadukan pekerjaan di kantor dan di luar lokasi kantor. 

Walaupun masa pandemi akan berakhir, namun banyak perusahaan memastikan akan mempertahankan lingkungan kerja hybrid

Untuk itu, perusahaan perlu membangun budaya yang selaras untuk seluruh insan perusahaan dengan mendukung nilai-nilai organisasi (budaya perusahaan).

Budaya perusahaan (corporate culture) secara sadar diciptakan melalui kerja keras dan niat. Strategi menata ulang lingkungan kerja sekaligus akan menjaga budaya perusahaan tetap di depan dan di tengah, serta memberi manajer roadmaps tentang cara menciptakan lingkungan kerja yang positif di dunia kerja hybrid. 

Budaya perusahaan yang sudah berfungsi baik, tidak membutuhkan perbaikan setelah pandemi, tetapi eksekutif perusahaan mungkin perlu mengkalibrasi ulang pendorong budaya perusahaan agar selaras dengan cara baru menyelesaikan pekerjaan.

Menurut studi Gallup, ada lima pendorong utama budaya perusahaan yang secara kolektif membentuk bagaimana insan perusahaan berperilaku, membuat keputusan, dan menyelesaikan pekerjaan mereka. 

Perusahaan yang memastikan mereka memberikan lima pendorong ini membuat manajer dan insan perusahaan siap untuk sukses karena mereka terus menyesuaikan diri dengan dinamika kerja yang berkembang dengan tim hybrid, lingkungan kerja yang fleksibel, dan norma-norma baru.

Penggerak Budaya 1: Kepemimpinan dan Komunikasi

Cara pemimpin perusahaan mendefinisikan, menampilkan, dan mengomunikasikan tujuan dan branding akan memengaruhi apakah insan perusahaan akan mencontohkan nilai-nilai tersebut.

Untuk menjaga kepercayaan dalam kepemimpinan, tinjau komunikasi antara pimpinan dengan insan perusahaan. 

Pastikan keputusan didasarkan pada nilai-nilai organisasi, dan petakan komitmen dan pernyataan yang dibuat untuk perilaku kepemimpinan yang terlihat, kebijakan organisasi, dan kebutuhan insan perusahaan.

Selama pandemi, para pemimpin berkomunikasi langsung dengan manajer tentang perubahan dalam pekerjaan, prioritas pelanggan, dan mengatasi kebutuhan sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan. 

Komunikasi seperti itu harus dilanjutkan karena memungkinkan manajer perusahaan mengetahui di mana harus memfokuskan tim mereka, mendorong produktivitas, dan membangun kepercayaan pada pemimpin di antara semua insan perusahaan.

Photo Ilustrasi by Merza Gamal
Photo Ilustrasi by Merza Gamal

Penggerak Budaya 2: Nilai dan Ritual

Nilai dan ritual mengatur dan memperkuat nada bagaimana insan perusahaan berinteraksi dengan orang lain dan menyelesaikan pekerjaan.

Nilai-nilai inti (core values) adalah keyakinan bahwa suatu organisasi menginginkan insan perusahaan untuk dianut secara universal dan bersifat aspirasional yang menjadi pemandu, janji kepada insan perusaan dan pelanggan, dan akan diuji oleh tekanan saat krisis terjadi.

Ritual adalah kebiasaan dan, secara alami, sulit dihentikan tanpa mengintegrasikan kebiasaan baru yang menyebabkan mengapa organisasi perlu secara sengaja menciptakan ritual baru yang dapat menahan dinamika kerja yang baru.

Jika manajemen sebelumnya menunjukkan nilai-nilai perusahaan melalui ritual berkeliling untuk memeriksa secara informal dengan tim mereka setiap hari, seperti apa tampilannya jika beberapa atau semua insan perusahaan berada di luar lokasi? 

Saat ini, setelah pandemi Covid-19, mungkin dilakukan dengan koneksi cepat informal melalui Zoom atau check-in melalui panggilan telepon yang memberikan kesempatan untuk menyentuh basis dengan anggota tim mereka. Koneksi cepat harus fleksibel dan berpusat pada masing-masing insan perusahaan, bukan pada manajer.

Perusahaan perlu memiliki niat untuk menciptakan ritual baru yang dapat menahan dinamika kerja yang baru. 

Misalnya dengan menyelenggarakan pertemuan face to face eksekutif (secara langsung atau pun virtual) bersama insan perusahaan yang membuat mereka merasa saling dekat. 

Sebelum pelaksanaan pertemuan diberikan kesempatan kepada insan perusahaan untuk mengajukan pertanyaan melalui email, meminta moderator memantau obrolan dan mengajukan pertanyaan masuk dari insan perusahaan kepada BOD, dan komunikasi manajer yang mengalir tentang acara tersebut sehingga insan perusahaan merasa terdorong untuk hadir dan berpartisipasi.

Penggerak Budaya 3: Sumber Daya Manusia

Untuk berhasil di era kerja baru ini, organisasi harus menciptakan pengalaman insan perusahaan yang berpusat pada orang yang memperkuat tujuan, branding, dan budaya mereka. 

Setiap keputusan tentang insan perusahaan, termasuk seleksi, keterlibatan, dan pengembangan harus mengakui bagaimana perpaduan antara pekerjaan dan kehidupan dengan tetap menghormati ruang pribadi insan perusahaan karena teknologi semakin mengaburkan batas.

Melakukan hal tersebut dengan sukses akan mengharuskan manajer memiliki pemahaman holistik tentang siapa insan perusahaan secara pribadi, bukan satu ukuran untuk semua. 

Manajer harus selaras dengan rekan mereka pada tingkat individu untuk memastikan anggota tim mereka berkinerja dan mengatasi dengan baik pekerjaan apa pun yang tampak bagi mereka sekarang.

Keseimbangan kehidupan kerja yang tepat untuk orang tua baru akan berbeda dengan rekan kerja yang merawat anggota keluarga yang sakit, atau perbedaan sikap antara satu Gen dengan Gen lainnya, dan seterusnya. 

Untuk mencapai keseimbangan yang rumit ini untuk seluruh tim, manajer perlu memperkuat kemampuan mereka untuk mengindividualisasikan, mendengarkan, dan menemukan solusi kreatif untuk masalah. 

Untuk berhasil di era kerja baru ini, perusahaan harus menciptakan pengalaman insan perusahaan yang berpusat pada insan yang memperkuat tujuan, merek, dan budaya mereka.

Pemimpin dapat membantu memfasilitasi pengalaman insan perusahaan yang positif dengan memperluas otoritas diskresi bagi manajer, memberdayakan mereka untuk mengambil tindakan saat mereka membutuhkannya. 

Hal tersebut mungkin tampak seperti permintaan yang mustahil bagi banyak perusahaan, kecuali bagi organisasi yang memilih manajer berdasarkan siapa yang memiliki talenta yang tepat untuk peran tersebut dan kemudian berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan mereka (misalnya, membantu manajer beralih dari sikap bos menjadi choach/pelatih).

Pada manajer berbakat diberdayakan untuk bertindak secara independen, mereka dapat memengaruhi pengalaman sehari-hari yang memperkuat perasaan insan perusahaan yang dihargai.

Penggerak Budaya 4: Tim dan Struktur Kerja

Salah satu manfaat nyata dari struktur baru pekerjaan hybrid adalah mengakses talenta terbaik yang tersedia terlepas dari lokasi fisik mereka. Namun juga terdapat banyak kekurangan, misalnya Rapat Zoom back-to-back mungkin tampak meningkatkan produktivitas.

Tetapi, kolaborasi dan inovasi menjadi berkurang karena tidak adanya interaksi informal dan kebetulan yang biasanya terjadi secara organik di lorong kantor dan area umum.

Acara sosial jarak jauh yang dijadwalkan dapat memberikan beberapa koneksi yang hilang ini, tetapi seringkali, insan perusahaan yang bekerja jarak jauh akan mengabaikan acara terstruktur semacam itu dalam mengejar tuntutan pekerjaan sehari-hari mereka. 

Manajer berada pada posisi terbaik untuk merangsang peluang kolaborasi informal dengan mengenali pekerjaan apa yang dilakukan insan perusahaan dan bagaimana hal itu terhubung dengan gambaran yang lebih besar dan tujuan orang lain. 

Mereka dapat membuat model dan mendorong perubahan kecil dalam perilaku dan penggunaan platform teknologi yang tersedia seperti Microsoft Teams untuk benar-benar menciptakan komunitas dan mencapai kesuksesan dengan cara baru.

Penggerak Budaya 5: Kinerja

Manajemen kinerja membutuhkan infrastruktur organisasi mulai dari penetapan tujuan hingga akuntabilitas hingga renumerasi dan reward lainnya.

Namun, kenyataan di lapangan, beberapa praktik manajemen perusahaan tidak sejalan dengan nilai-nilai kepemimpinan dan budaya perusahaan yang diinginkan.

Menurut studi Gallup, hanya sekitar satu dari 10 orang yang memiliki bakat alami untuk mengelola, meskipun dua dari 10 orang lainnya dapat berfungsi pada tingkat tinggi jika perusahaan mereka berinvestasi dalam rencana pembinaan dan pengembangan untuk mereka. 

Tidak mengherankan jika mendengar bahwa bekerja dari jarak jauh hanya memperburuk efek negatif dari manajer yang lemah, karena mereka cenderung mengandalkan pengelolaan mikro dan mengisi kalender dengan rapat yang tidak perlu agar terasa efektif.

Meskipun demikian, manajer telah menjadi saluran utama antara kepemimpinan dan insan perusahaan di tengah pandemi, yang bertanggung jawab untuk berbagi tanggapan organisasi terhadap krisis dengan setiap insan perusahaan.

Penulis,
Merza Gamal
Author of Change Management & Cultural Transformation
Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

.