Papua selalu jadi cerita tersendiri dalam pembangunan Indonesia. Bukan hanya karena bentang alam yang luas, tapi juga karena tantangan distribusi sosial yang jauh lebih kompleks dibanding daerah lain. Sebagai pengembang sistem informasi untuk Dinas Sosial di salah satu kabupaten di Papua, saya melihat langsung bagaimana digitalisasi bukan sekadar opsi—melainkan sebuah keharusan.
Kesenjangan yang Tak Terlihat
Selama ini, bantuan sosial sering terhambat bukan hanya karena dana yang terbatas, tetapi karena data yang tidak akurat, proses verifikasi yang lambat, dan sistem manual yang rentan salah sasaran. Di wilayah-wilayah pegunungan atau pesisir terpencil Papua, akses informasi hampir nihil. Tidak semua warga memiliki KTP aktif, dan tidak semua aparat desa memiliki perangkat yang memadai untuk input data.
Di sinilah benih masalah muncul: data tak valid, bantuan tak tepat, kepercayaan menurun.
Realita di Lapangan: Tidak Semua Bisa Menunggu
Bayangkan satu distrik dengan lebih dari 20 kampung tersebar, hanya diakses lewat jalan tanah yang bisa tertutup lumpur saat hujan. Operator Dinsos harus mendata penerima bansos satu per satu—sering kali hanya berdasarkan ingatan atau dokumen kertas yang sudah lusuh. Akibatnya, laporan mingguan pun bisa jadi mimpi buruk.

Waktu dan tenaga habis hanya untuk proses administratif. Padahal masyarakat membutuhkan solusi nyata—bukan janji.
Digitalisasi: Bukan Sekadar Aplikasi, Tapi Perubahan Cara Pandang
Ketika sistem informasi kami mulai diperkenalkan, banyak yang mengira ini hanya soal "bikin aplikasi". Tapi nyatanya jauh lebih dari itu. Ini adalah perubahan cara kerja dan cara berpikir.
Kami tidak sekadar membuat form digital, tapi merancang alur yang bisa diakses meski sinyal lemah, dilengkapi validasi agar data tidak ganda, serta mendukung pengambilan keputusan berbasis peta dan grafik interaktif.

Salah satu fitur penting yang kami bangun adalah deteksi lokasi GPS dengan akurasi hingga 35 meter. Ini sangat krusial karena banyak bantuan sosial bergantung pada lokasi rumah penerima yang tersebar di pegunungan atau pesisir terpencil. Dengan GPS yang akurat, sistem bisa memverifikasi titik penyaluran bantuan secara real-time, serta mencegah tumpang tindih data antar kampung. Ke Depan kami akan rencanakan pengaplikasian Sistem yang bahkan saat tanpa sinyal kuat, data tetap bisa disimpan offline lalu disinkronkan kemudian menggunakan aplikasi mbile yg akan kami kembangkan.
Digitalisasi ini membuka jalan bagi pengawasan yang lebih transparan dan keadilan distribusi yang lebih merata. Kini, aparat kampung tak perlu menunggu berhari-hari untuk mencetak daftar penerima atau membuat laporan. Semua bisa diakses langsung melalui sistem, walau dengan perangkat sederhana.
Papua Harus Dipandang Sebagai Prioritas Teknologi
Negeri ini terlalu luas jika pendekatannya seragam. Papua butuh solusi yang disesuaikan dengan karakter lokalnya—bukan meniru sistem dari Jakarta. Sistem informasi sosial adalah bagian dari upaya membangun keadilan sosial lewat jalur teknologi. Dan itu harus dimulai sekarang.

Catatan:
Artikel ini ditulis oleh Jody Aryono, bersama Suaib Halim sebagai kontributor lapangan dan co-writer dalam pengembangan sistem digital Dinas Sosial Papua.
Bersambung ke artikel berikutnya:
"Membangun Sistem Dinsos Papua: Dari Nol hingga Siap Pakai"
.