Indonesia Bisa Disudo: rm -rf /
Bayangkan jika Indonesia adalah sebuah sistem operasi Linux. Lalu Amerika Serikat adalah superuser-nya. Dan hari ini, command line itu sedang diketik:

Terhapus tanpa ampun. Itulah analogi paling tepat ketika kita menyimak kabar dari CNN Indonesia pagi ini—Presiden AS Donald Trump kembali mengusulkan tarif hingga 19% bagi produk dari Indonesia, sementara AS sendiri justru mendapat akses penuh ke pasar kita.
“sudo” = akses superuser
AS bukan sekadar mitra dagang biasa, tapi dalam konteks ini memiliki level kuasa tertinggi, layaknya sudo dalam linux user akses, karena:
Bisa ekspor tanpa hambatan
Bisa investasi di sektor strategis RI
Indonesia tidak memberi perlindungan memadai terhadap data, digitalisasi, atau produk lokal
rm -rf / = menghapus seluruh sistem tanpa konfirmasi
Akses penuh tanpa proteksi mencerminkan situasi di mana:
Produk lokal terancam tenggelam karena banjir barang impor
Data konsumen dan sumber daya digital bisa diambil alih
Industri strategis bisa dikuasai modal asing
→ Sama seperti rm -rf /, semua “isi sistem” bisa dihapus secara tidak sadar jika tidak ada pembatasan.
Ketimpangan yang Tidak Lagi Tersembunyi
Trump, yang kini kembali mencalonkan diri dan membawa agenda proteksionisnya ke tingkat lebih tinggi, menempatkan Indonesia dalam daftar negara yang dikenai tarif dagang tinggi. Padahal, Indonesia tidak menerapkan hal yang sama ke AS. Bahkan sebaliknya, berbagai sektor kita, dari pertanian hingga digital, dibuka lebar untuk investasi dan produk asing.
Makna Ekonomi dan Dagang:
1. Bebas Tarif (Zero Tariff) untuk Produk AS
Trump menyebut bahwa AS tidak akan dikenai tarif apapun saat mengekspor barang ke Indonesia. Artinya, produk-produk AS bisa masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan biaya — seperti pajak masuk, bea impor, atau syarat proteksi lainnya.
2. Akses Penuh ke Pasar Domestik RI
AS diberikan akses luas ke sektor-sektor strategis Indonesia, baik melalui:
Investasi langsung (FDI)
Ekspor jasa dan teknologi
Partisipasi dalam proyek-proyek nasional
Sektor pertahanan, pertanian, energi, bahkan digital
3. Tanpa Tindakan Timbal Balik dari RI
Sementara Indonesia tetap dikenai tarif 19% saat ekspor ke AS, AS tidak menghadapi hambatan serupa dari sisi Indonesia. Ini disebut sebagai akses “asymmetric” — hanya satu pihak yang bebas masuk, sementara pihak lain dibatasi.
Analogi Sederhana:
Bayangkan Indonesia adalah rumah besar. Lalu AS bilang:
“Kami boleh masuk rumahmu kapan saja, bawa barang dagangan kami, bahkan ikut buka toko di ruang tamu. Tapi kamu kalau mau ke rumah kami, bayar biaya masuk 19%, dan gak boleh jualan di ruang tamu kami.”
Itulah yang dimaksud dengan full access untuk AS, tapi berat sebelah buat Indonesia.
Mengapa Ini Terjadi?
Jawabannya bukan cuma di neraca perdagangan. Tapi di posisi tawar. Di meja negosiasi global, siapa yang lebih bergantung kepada siapa? Indonesia sangat membutuhkan pasar ekspor dan investasi asing, sementara AS hanya melihat kita sebagai satu titik kecil dalam peta geopolitik dagangnya.
Kesalahan Umum yang Kita Lakukan
Kita terlalu cepat membuka semua gerbang. UU Cipta Kerja, kemudahan berusaha, kemudahan investasi asing—semuanya bagus jika ada filter. Tapi sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: banyak regulasi longgar, data digital yang tak dilindungi maksimal, dan produk lokal yang tak dilindungi dari gempuran luar. Kita membuka FTP server ke publik, tanpa password.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Langkah penyelamatan harus dimulai dari kesadaran bahwa "akses penuh" bukanlah tanda kemajuan, jika tak dibarengi dengan proteksi yang seimbang. Indonesia harus mulai berani menerapkan reciprocal policy—jika negara lain pasang tarif, kita pun harus siap mengimbanginya.
Fakta dan Ilmu di Baliknya
Tarif 19% yang diusulkan oleh Trump ini tak berdiri sendiri. Ia bagian dari strategi ekonomi global bernama strategic decoupling. AS ingin memotong ketergantungannya pada negara-negara berkembang dan memaksa mereka tunduk dalam skema tarif. Sementara itu, Indonesia belum memiliki trade firewall yang sepadan.
Pertolongan Pertama yang Bisa Dilakukan
Segera audit kebijakan ekspor-impor kita yang membuka celah asimetris.
Bentuk tim negosiator dagang yang lebih independen dari kepentingan politik dan korporasi.
Tinjau ulang perjanjian dagang bilateral yang timpang.
Tips Pencegahan ke Depan
Jangan buru-buru beri akses ke infrastruktur digital, data konsumen, dan aset-aset strategis.
Terapkan sistem mutual tariff policy dengan batas toleransi.
Edukasi masyarakat tentang pentingnya produk lokal dan data sovereignty.
Refleksi: Bukan Sekadar Ekonomi, Ini Kedaulatan
Sebagai warga digital dan praktisi IT, saya merasakan ironi besar: sistem server lokal kita saja bisa kita proteksi dengan enkripsi dan backup ganda. Tapi dalam hal sistem negara, kita belum memiliki proteksi yang kuat. Jika ini dibiarkan, kita bisa shutdown bukan karena bencana, tapi karena satu baris perintah dari luar negeri.
"Ibarat sistem Linux yang diberi akses root (sudo), dan diperintahkan menghapus seluruh isi (rm -rf /), kebijakan semacam ini bisa membuat Indonesia rentan kehilangan kendali atas sektor-sektor vital jika tidak dilindungi dengan firewall kebijakan."
Referensi:
.