20px

Ketika Ide Tidak Dihargai:Rendahnya Apresiasi terhadap Inovasi

Jodyaryono5072
160 artikel
Ilustrasi dibuat oleh AI (ChatGPT + DALL*E, OpenAI). 
Ilustrasi dibuat oleh AI (ChatGPT + DALL*E, OpenAI). 

Sebuah Ide yang Tak Pernah Tumbuh

Artikel ini bisa dibaca dengan nyaman di https://kompasiana.jodyaryono.id/artikel/ketika-ide-tidak-dihargai-rendahnya-apresiasi-terhadap-inovasi

Di banyak ruang kerja, kampus, dan desa kreatif di Indonesia, ide-ide segar sebenarnya tak pernah berhenti muncul. Anak muda berbakat menemukan cara baru membuat aplikasi sosial, mengelola limbah, atau menciptakan alat bantu bagi petani. Namun, sering kali mereka berhenti di satu titik: ide itu hanya jadi wacana. Bukan karena tak mampu, melainkan karena tak diapresiasi.

Apresiasi yang Terjebak Seremoni

Kita sering mendengar lomba inovasi, hackathon, atau penghargaan startup yang penuh sorak sorai dan foto bersama. Tetapi, setelah piala dibawa pulang, berapa banyak inovasi yang benar-benar dilanjutkan? Apresiasi sering berhenti di seremoni, bukan di dukungan nyata seperti pendanaan, bimbingan, atau jaminan keberlanjutan. Akibatnya, banyak penemu lebih memilih pindah ke luar negeri, mencari tempat yang menghargai jerih pikirnya.

Budaya yang Belum Siap Menghargai Gagal

Kegagalan masih dianggap aib. Padahal dalam sains dan inovasi, gagal adalah bagian dari riset. Di Silicon Valley, kesalahan pertama dianggap tiket masuk ke keberhasilan. Di sini, kegagalan sering dijadikan alasan untuk tidak mencoba lagi. Maka banyak orang memilih aman... bukan kreatif.

Sistem Pendidikan yang Terlalu Aman

Sekolah sering menilai anak dari benar-salah, bukan dari seberapa beraninya berpikir berbeda. Ketika siswa yang bertanya justru dianggap mengganggu, budaya inovasi mati pelan-pelan. Inovasi hanya bisa tumbuh di ruang yang memberi izin untuk salah, asal mau belajar darinya.

Korporasi yang Lebih Suka Meniru

Alih-alih berinvestasi pada riset dan pengembangan, banyak perusahaan lokal lebih memilih meniru konsep luar negeri. Padahal, meniru tanpa memahami konteks sering membuat inovasi kehilangan relevansi. Akhirnya, kita jadi bangsa konsumen ide, bukan produsen gagasan.

Negara yang Terlambat Menghargai

Birokrasi sering kali membuat inovator lelah. Proposal riset tertahan, ide teknologi dibenturkan pada regulasi yang kaku, bahkan produk lokal sulit masuk pasar karena kalah oleh barang impor. Padahal, di balik setiap inovasi, ada perjuangan panjang dan biaya yang tak kecil.

Ketika Dunia Luar Lebih Mengakui

Ironisnya, banyak peneliti dan kreator Indonesia justru mendapat pengakuan internasional sebelum dihargai di negeri sendiri. Dari alat pendeteksi longsor, kendaraan hemat energi, sampai inovasi pertanian---sering kali baru mendapat perhatian ketika media asing memberitakannya. Seolah butuh cap luar negeri dulu agar diterima di dalam negeri.

Membangun Ekosistem Apresiatif

Menghargai inovasi bukan hanya memberi penghargaan, tapi memberi ruang hidup bagi ide itu berkembang. Pemerintah perlu mempercepat jalur dukungan riset, korporasi perlu menanam investasi pada R&D, dan masyarakat perlu belajar menghargai proses, bukan hanya hasil.

Refleksi: Dari Mengeluh ke Menggerakkan

Apresiasi tidak lahir dari sistem, melainkan dari sikap. Kita semua bisa memulainya---dengan tidak meremehkan ide orang lain, dengan memberi ruang diskusi yang sehat, dan dengan percaya bahwa kreativitas bukan sekadar hobi, tapi fondasi kemajuan bangsa.

Seperti kata Albert Einstein, "Imagination is more important than knowledge." Pengetahuan bisa membatasi, tapi imajinasi bisa membebaskan. Bangsa yang menghargai inovasi sejatinya sedang berinvestasi pada masa depan.

"Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world." -- Albert Einstein

.