Apakah AI Bisa Berdosa? Perspektif Etika dan Fikih Modern
Dengan kemajuan pesat dalam teknologi kecerdasan buatan (AI), pertanyaan-pertanyaan baru mulai muncul. Salah satunya terdengar unik namun penting: apakah AI bisa berdosa?
Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti lelucon di awal. Namun di baliknya terdapat dimensi etika dan teologis yang sangat dalam, terutama dalam konteks Islam dan syariat.
AI: Alat atau Makhluk Bertanggung Jawab?
Dalam Islam, dosa adalah pelanggaran terhadap perintah Allah, yang dilakukan oleh makhluk yang memiliki akal, kehendak bebas, dan kesadaran. AI, meskipun bisa meniru perilaku cerdas, tetaplah sistem yang dibangun oleh manusia. Ia tidak memiliki ruh, hati, atau kesadaran spiritual.
Maka dari itu, AI tidak mungkin berdosa. Namun, bukan berarti tidak ada dosa yang timbul. Dosa bisa berpindah kepada manusia yang menciptakan, melatih, atau menggunakan AI secara tidak bertanggung jawab.
Kasus Nyata: Diskriminasi oleh Algoritma
Beberapa sistem AI terbukti bersikap bias: menolak lamaran kerja dari wanita, atau menyarankan hukuman lebih berat kepada ras tertentu. Apakah ini kesalahan AI? Secara teknis, iya. Tapi secara moral, yang berdosa adalah manusia yang gagal menyiapkan sistem yang adil.
Tanggung Jawab dalam Fikih Muamalah
Dalam fikih, prinsip umum menyatakan: "Al-waslah il al-arm, arm" --- sarana yang membawa pada keharaman, juga haram. Jika AI menjadi wasilah bagi kezhaliman atau kerusakan, maka pengguna dan penciptanya bisa memikul tanggung jawab.
Kita juga mengenal konsep gharar (ketidakjelasan) dan arar (kerugian). Maka, AI yang dipasang tanpa kepastian atau merugikan banyak pihak bisa tergolong dalam muamalah yang haram secara prinsip.
Kesimpulan
AI tidak punya dosa. Tapi manusia di baliknya bisa menanggung dosa yang besar jika tidak berhati-hati. Maka, dalam dunia yang semakin otomatis, keimanan dan kesadaran moral kita harus tetap manual --- karena Allah akan menghisab manusia, bukan mesinnya.
Teknologi terus berkembang. Namun tanggung jawab tetap berada di tangan kita. Semoga kita tidak tergelincir karena menganggap mesin sebagai tameng dari akhlak.
.