Akar Korupsi dari Zaman Kolonial hingga Indonesia Merdeka
Jejak kelam yang tak pernah hilang
Korupsi hari ini sering dianggap penyakit baru, padahal jejaknya sudah panjang. Dari masa Belanda dengan kerja rodi hingga Jepang dengan romusha, praktik penggelapan upah dan pungutan liar sudah membekas. Mirisnya, pola itu tetap berlanjut setelah Indonesia merdeka.
Mengapa akar kolonial begitu kuat
Sistem kolonial dibangun atas dasar eksploitasi. Belanda tidak mungkin mengawasi seluruh rakyat, sehingga mereka mendelegasikan kekuasaan pada demang, lurah, hingga bupati. Jepang pun melanjutkan sistem serupa. Dari sinilah lahir ruang untuk manipulasi: pejabat lokal menjadi "broker" antara penjajah dan rakyat.
Mekanisme penindasan
Rakyat dipaksa kerja tanpa pilihan. Upah yang seharusnya diterima sering dipotong oleh pejabat pribumi. Ada pula praktik mengganti nama: orang kaya membayar agar tidak masuk daftar kerja rodi, lalu digantikan rakyat miskin. Sistem kolonial bukan hanya menindas dari atas, tetapi juga menciptakan kelas elit lokal yang memperkaya diri di atas penderitaan sesama bangsanya.
Kesalahan yang diwariskan
Setelah kemerdekaan, bukannya budaya itu hilang, justru terbawa masuk ke dalam birokrasi negara. Struktur kekuasaan yang terbiasa menindas dan memotong hak rakyat berubah bentuk menjadi pungli, nepotisme, dan kolusi. Korupsi tidak lagi dilakukan demi penjajah, tetapi demi memperkaya diri sendiri.
Harapan yang teruji
Namun rakyat tidak selalu diam. Sejak masa kolonial, ada kisah warga desa yang menolak pungutan, ada tokoh yang menentang pejabat curang, dan ada perlawanan moral dari tokoh agama. Setelah merdeka, gerakan antikorupsi pun terus muncul, meski sering kalah oleh sistem yang lebih besar.
Fakta sejarah yang mendukung
Sejarawan Sartono Kartodirdjo mencatat bahwa korupsi pejabat lokal memperburuk penderitaan rakyat dalam tanam paksa. Onghokham menyebut sistem kolonial menciptakan mentalitas oportunistik pada elit. Bahkan arsip Belanda menyimpan keluhan bahwa hasil panen rakyat "hilang di tangan kepala desa" sebelum sampai gudang pemerintah. Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar "penyakit modern", melainkan warisan sejarah.
Pertolongan yang sering terlambat
Bahkan setelah ada undang-undang antikorupsi, KPK, dan berbagai instrumen hukum, rakyat sering merasa hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Sama seperti masa kolonial, yang sering dihukum justru rakyat kecil, sementara pejabat yang bermain uang bisa lolos.
Jalan keluar yang harus ditempuh
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hukum. Perlu perubahan budaya: dari pola feodal yang menempatkan pejabat sebagai "tuan", menuju sistem yang menjadikan mereka benar-benar "pelayan rakyat". Pendidikan sejarah penting agar kita sadar... bahwa korupsi adalah kelanjutan dari pola kolonial yang harus kita hentikan.
Refleksi hari ini
Korupsi di negeri ini bukan sekadar soal uang yang hilang, tetapi luka panjang yang diwariskan sejak zaman kolonial. Kita sering marah pada penjajah yang merampas hak-hak nenek moyang, tetapi lupa bahwa sebagian korupsi hari ini dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Merdeka seharusnya berarti bebas dari penjajahan mental. Saatnya jujur pada diri sendiri: apakah kita sungguh sudah merdeka dari warisan kolonial itu?
.