AI telah mampu memahami dan menghasilkan bahasa global seperti Inggris, Mandarin, atau Spanyol. Tapi bagaimana dengan bahasa Indonesia, atau lebih jauh lagi—bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, hingga Papua?
Pertanyaannya bukan sekadar teknis, tapi juga menyentuh soal identitas budaya, inklusivitas, dan keadilan digital.
Tantangan AI dalam Bahasa Lokal
Data Terbatas
AI belajar dari data. Bahasa Inggris memiliki miliaran sumber teks, sementara bahasa daerah hanya punya sedikit dokumentasi digital.
Variasi Dialek dan Ejaan
Bahasa daerah sering tidak baku, memiliki banyak versi lisan, dan minim standar penulisan.
Kurangnya Dukungan Teknologi
Sebagian besar pengembang LLM fokus pada pasar global. Bahasa lokal masih dianggap pasar kecil dan “tidak menguntungkan.”
Kurangnya Kontributor Lokal
Perlu ada lebih banyak inisiatif lokal dari akademisi, pegiat budaya, dan komunitas digital untuk menyumbangkan data, cerita rakyat, dan percakapan nyata.
Tapi Jawabannya: Bisa!
Beberapa langkah awal sudah dilakukan:
BERT Bahasa Indonesia dikembangkan oleh IndoNLU dan HuggingFace.
Komunitas seperti Wikimedia dan INACL (Indonesia Natural Language Processing) mulai mengembangkan korpus bahasa Nusantara.
Beberapa startup AI lokal mulai fokus pada chatbot dan voice assistant berbahasa Indonesia informal.
Dengan semangat gotong royong, AI bahasa lokal bukan mustahil. Bahkan bisa menjadi alat pelestarian budaya.
Mengapa Ini Penting?
Akses Teknologi yang Adil: AI seharusnya tidak hanya pintar dalam bahasa orang kota.
Pelestarian Budaya: Jika tidak direkam digital, banyak bahasa daerah bisa punah.
Penguatan Identitas: Berinteraksi dengan AI dalam bahasa ibu memberi rasa kepemilikan dan kenyamanan yang lebih dalam.
Penutup:
AI harus berbicara seperti rakyatnya—bukan hanya secara teknis, tapi juga secara budaya.
Membangun AI lokal adalah upaya bersama untuk menjadikan teknologi lebih manusiawi, lebih merakyat, dan lebih Nusantara.
Nantikan artikel selanjutnya: “AI dan Keamanan Data Pribadi: Disadap Diam-diam?”
.